Perkataan Imam-Imam di Dalam Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan Perkataan Yang Bertentangan Dengannya.
Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebahagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah darjatnya dari taklid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada mazhab- mazhab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau mazhab- mazhab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Ta'ala, berfirman:
"Ikutilah apa yang diturunkan kepada mu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-'Araf :3)
I. ABU HANIFAH
Yang pertama-tama di antara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, Iaitu kewajipan untuk berpegang teguh kepada hadis dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya.
"Apabila hadis itu shahih, maka hadis itu adalah mazhab ku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63)
"Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa'u fi Fadha 'ilits Tsalatsatil A'immatil Fuqaha'I, hal. 145)
Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasan ku untuk memberikan fatwa dengan perkataan ku". Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari".
"Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu 'alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50)
2. MALIK BIN ANAS
Imam Malik berkata:
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapat ku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami', 2/32)
"Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu 'Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahawa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: 'Al-Laits bin Sa'ad dan Ibnu Lahi'ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Ma'afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepada ku dengan kelingkingnya apa yang ada di antara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadis ini adalah Hasan, 'aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta'dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
3. ASY-SYAFI'I
Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafi'i di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya:
"Tidak ada seorang pun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapan ku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Inilah ucapan ku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
"Kaum Muslimin telah sepakat bahawa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68)
"Apabila kamu mendapatkan di dalam kitab ku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu 'alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1)
"Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu', Asy-Sya'rani, 10/57)
"kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari pada ku tentang hadis dan orang-orangnya (Rijalu 'l-Hadits). Apabila hadis itu shahih, maka ajarkanlah ia kepada ku apa pun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah mahu pun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermazhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi'I, 8/1)
"Setiap masalah yang di dalamnya khabar dari Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidup ku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1)
"Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadis Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermazhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu'addab)
Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu 'alaihi wa sallam terdapat hadis shahih yang bertentangan dengan perkataan ku, maka hadis nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2)
4. AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu') dan pendapat Oleh karena itu ia berkata:
"Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi'i, Auza'i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I'lam, 2/302)
"Pendapat Auza'I, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagi ku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami', 2/149)
"Barang siapa yang menolak hadis Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182).
Allah berfirman: "Maka demi Tuhan mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63).
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata:
"Adalah menjadi kewajipan bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasihati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar di antara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu 'alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibandingkan pendapat orang besar mana pun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebahagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka.
Akan tetapi, Rasulullah Salallahu 'alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah."
(Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
No comments:
Post a Comment