Kita sambung lagi kisah sahabat Rasulallah saw yang bernama Saad bin Muas...
Di saat menjelang perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan sahabat-sahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah menguruskan hal ehwal perang itu. Maka baginda dihadapkan wajahnya yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya katanya: “Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai shahabat!”
Maka bangkitlah Sa’ad bin Mu’az tak ubah bagi bendera di atas tiangnya, katanva: -
“Wahai Rasulullah! Kami telah beriman kepada anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya Rasulallah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda … ! Dan demi Allah yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan … ! Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati … ! Maka maulailah kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala… !”
Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira, dan wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa rela dan bangga serta bahagia, lalu katanya kepada Kaum Muslimin “Marilah hita berangkat dan besarkan hati kalian kerana Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan! … Demi Allah,… sungguh seolah-olah tampak olehku kehancuran orang-orang itu!” (al-Hadits)
Manakala semasa perang Uhud, ketika kedudukan dan semangat Kaum Muslimin telah jatuh disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, namun kedudukan Sa’ad bin Mu’adz tetap begitu kukuh di mana kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi berhampiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mempertahankan dan membela baginda bermati-matian, inilah sikapnya yang agung, terpancar dari sikap hidupnya ….
Sementara itu semasa di perang Khandak, Sa’ad ibn Muas benar-benar menunjukkan kepahlawanan dan kesetiaanny. Seperti yang anda tahu bahawa perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin oleh kafir yang tidak pernah kenal erti perjanjian atau keadilan.
Maka tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat hidup dengan sejahtera di Madinah dengan mengabdikan diri kepada Allah swt, saling nasihat-menasihati agar mentaati-Nya serta mengharap agar orang-orang Quraisy menghentikan serangan dan peperangan, tetapi terdapat segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah lalu menghasut orang-orang Quraisy untuk menyerang Rasulullah saw sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadinya peperangan itu nanti.
Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik itu, dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri dengan tentara Quraisy.
Strategi peperangan telah diatur dan tugas serta peranan telah dibagi-bagikan. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentera yang ramai, sementara orang-orang Yahudi akan melakukan penyerangan dan menghancurkan umat Islam dari dalam kota dan di sekelilingnya.
Setelah Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. Dititahkannya menggali khandak iaitu parit perlindungan di sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh. Di samping itu diutusnya Sa’ad bin Mu’az dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad, pemimpin Yahudi suku Quraidha untuk menyelidiki sikap mereka, walaupun antara mereka dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenamya sudah ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai.
Dan alangkah terkejutnya kedua-dua utusan Nabi, apabila pemimpin Bani Quraidha itu menjawab ”Tak ada persetujuan atau perjanjian antara Kami dengan Muhammad”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan amat berat memikirkan musibah perang yang akab dihadapi oleh rakyatnya. Baginda berfikir untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy.
Siasat itu segera beliau laksanakan dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbuhan mereka akan beroleh sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan, dan tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putih ….
Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari tiadaiah sewajarnya ia memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya. Terutama Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya, karena kedua mereka adalah pemuka Madinah, dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan seal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil Rasulullah menceritakan kepada kedua mereka peristiwa perundingan yang berlangsung antaranya dengan pemimpin-pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.
Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan:
“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah … ?”
Ujar Rasulullah: “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan.
Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin.. !”
Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman, mendapat ujian betapa juga coraknya.
Maka katanya: -
‘Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sehutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli …. Sekarang, apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lain kami harus menyerahkan harta kekayaan kami …? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang … hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka… !”
Tanpa bertangguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa sahabat-sahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada putusan shahabatnya….
Berselang beberapa hari, kota Madinah mengalami pengepungan ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlindungan bagi dirinya. Kaum Muslimin pun memasuki suasana perang. Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil berpantun:
“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang … !”
Dalam salah satu perjalanan kelilingnya nadi lengannya disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik.
Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluamya darah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.
Sa’ad, tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan matanya ke arah langit, lain mohonnya: -
“Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quuaisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya! Karena tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah menganiaya Rasul-Mu,telah mendustakan dan mengusirnya… !
Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid … ! Dan janganlah aku dimatikan sebelum tercapainya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha … !”
Allah-lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz … ! Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian, selain dirimu …?
Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah itu, akibat luka tersebut ia kembali menemui Tuhannya. Tetapi peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobatil terhadap Bani Quraidha.
Kisahnya ialah setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata, lalu kembali ke Mekah dengan hampa tangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat, mendiamkan perbuatan orang-orang Quraidha, berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan pengkhianatan mereka terhadap kota Madinah bilamana saja mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu! Oleh sebab itulah beliau mengerahkan shahabat-shahabatnya kepada Bani Quraidha itu. Mereka mengepung orang-orang Yahudi itu selama 25 hari. Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidha bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan permohonan kepada Rasulullah yang beroleh jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah dahulu, Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidha ….
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim beberapa shahabat untuk membawa Saad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita sakit.
Kata Rasulullah kepadanya: “Wahai Sa’ad! Berilah keputusanmu terhadap Bani Quraidha … !” Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidha yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad: — “Menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum bunuh. Perempuan dan anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi-bagi … !” Demikianlah, sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobat terhadap Bani Quraidha….
Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian bertambah parah …. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya. Kiranya didapatinya ia dalam saat terakhir dari hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, lain berdu’a kepada Allah, katanya:
“Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-mu ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh… !”
Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu rupanya telah memberikan kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi. Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya: “Salam atasmu, wahai Rasulullah… ! Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah!”
Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya: “Kebahaggaan bagimu wahai Abu Amr … !”
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: — “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad · … Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.
Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Muslimin terasa berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka dengar Rasul mereka yang mulia bersabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz … !
No comments:
Post a Comment